Minggu, 27 Maret 2011

PESONA PULAU ALOR

SEBUAH panorama indah terhampar di depan mata. Sungguh memesona. Pulau Tereweng, sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang tampak tenang. Di sebelah kirinya ada Pulau Pantar, merupakan pulau terbesar kedua di Alor, masih lelap tertidur dibungkus dingin pagi itu. Pulau Tereweng terlewati, bertemulah Pulau Pura.
Di hari sepagi itu, pulau kecil yang terletak di depan Selat Kalabahi tersebut sudah menantang setiap mata yang memandang. Puncak Gunung Pura dengan kemiringan medan mendekati 90 derajat nan gersang itu tampak angkuh.

Di depan Wulau Pura ada sebuah pulau kecil, Kepa, demikian pulau ini biasa disebut. Di selat antara Pulau Kepa dan Pulau Alor, ada sebuah fenomena alam yang sangat unik. Pada waktu tertentu, muncul arus dingin. Saat muncul arus dingin ini, ikan-ikan akan melarikan diri ke darat. Munculnya arus dingin ini biasanya pada bulan Februari dan Oktober. Setiap kali peristiwa ini muncul, masyarakat bersama wisatawan menunggu di pinggir pantai untuk mengambil ikan-ikan segar. Dan, dari tepi pantai Alor, mereka menikmati panorama alam sambil menyantap ikan panggang.


Dari ujung Pulau Kepa, Kalabahi, ibukota Kabupaten Alor, tampak ramah menyapa. Beberapa saat setelah melewati Pulau Kepa, kapal merapat ke Pelabuhan Kalabahi. Aktivitas pagi baru dimulai di kota berpenghuni sekitar 30 ribuan jiwa itu. Bukan pemandangan unik di kota kecil itu jika angkutan umum hanya sampai pukul 19.00. Pilihan angkutan setelah jam itu hanyalah panser.
Panser bukanlah kendaraan milik tentara dengan senjata perang. Panser ala Kalabahi adalah mobil jip yang dimodifikasi menjadi kendaraan bak terbuka. Hanya dengan kendaraan ini orang bisa mencapai pelosok-pelosok kabupaten paling timur Propinsi NTT tersebut. Jangan heran kalau Anda bersama-sama dengan kambing dan ayam dalam perjalanan dengan angkutan unik ini.
Meski sarana dan prasarana terbatas, Kalabahi bisa membuat orang betah berlama lama. Terutama bagi mereka yang mencintai keindahan pantai berikut makanan laut, teristimewa ikan. Kota ini terletak di kedalaman sebuah teluk. Di negeri ini, memang banyak kota teluk, seperti Kendari, Jayapura dan Palu, namun Teluk Kalabahi sungguh memesona.
Pesona Teluk Kalabahi dapat dipandang utuh dari Moro, sebuah desa di timur laut kota itu. Hanya beberapa kilometer perjalanan, batas kota terlampaui sudah. Bau tanah di awal musim hujan menyapa indra penciuman. Tanah merah yang basah, daun kening sisa kemarau yang terkulai diguyur hujan seharian, rerumputan kering yang berbaur dengan tunas rumput baru, serta pohon jati yang tampak mulai menghijau menjadi pemandangan yang selalu hinggap di mata, sepanjang jalan menuju Moro.
Ketika gerimis perlahan mulai menghilang, kabut tipis tampak berkejaran di langit yang mulai cerah. Dari balik sebuah bukit kecil di batas mata memandang, ada warna-warni yang bersatu membentuk pelangi yang memanjang menggapai langit. Sementara dari lereng sampai puncak bukit yang tampak dari kejauhan, hutan kemiri membentang. Warna putih bunga kemiri yang tampak merata itu adalah panorama tersendiri yang indah menyapa mata.
Beberapa kilometer berselang tampak laut biru membentang di Selat Kalabahi. Permukaan laut bening dan tenang laksana sebuah cermin raksasa. Pada pagi dan senja hari kita bisa menyaksikan perahu-perahu nelayan yang terapung tenang di atas laut atau perahu motor yang melintas mengangkut penumpang serta barang dari dan ke Kalabahi.


Lautnya selalu teduh, tanpa gelombang. Berada di pinggiran pantai Teluk Kalabahi, bagaikan berada di pinggiran sebuah danau yang luas. Sinar mentari senja yang memantul di permukaannya memberikan nuansa indah nan romantis. Beberapa mil di depan, tampak Kota Kalabahi pasrah menyambut senja.


Perjalanan ke Alor rasanya belum lengkap kalau tidak berusaha mengunjungi dan mengenal budaya khas masyarakat setempat. Masyarakat Alor adalah kumpulan komunitas yang memiliki keragaman etnolinguistik (bahasa dan etnik) dengan pola interaksi yang khas. "Di Alor, ada belasan bahasa dan puluhan etnik. Satu kecamatan, bahkan desa, memunyai bahasa sendiri. Saya sendiri hanya bisa menguasai dua bahasa, yakni bahasa dari daerah ayah clan ibu," kata Udin Djawa, seorang jurnalis di Alor.


Budaya Alor juga unik. Dalam ritual-ritual tertentu, budaya Alor di daerah pedalaman seolah lepas sama sekali dengan budaya masyarakat NTT lainnya. Namun, budaya masyarakat pantai umumnya masih memiliki benang merah dengan budaya Pulau Alor sering pula disebut Pulau Moko. Pasalnya, di pulau ini terdapat ribuan jenis moko atau nekara, sejenis bejana perunggu peninggalan kebudayaan Dongson, Vietnam, dari 300 tahun sebelum Masehi sampai tahun 200-an Masehi. Di seluruh Indonesia, peninggalan sejarah serupa moko ini mungkin hanya ada di Alor.


Entah mengapa benda ini bisa sampai di Alor dan menjadi benda yang dikeramatkan. Yang jelas, bagi warga Alor, moko memunyai nilai sosial, ekonomis, dan mistis religius yang tinggi. Moko menjadi benda ekonomi yang dipertukarkan dengan makanan, pakaian, atau hewan. Ketika dijadikan mas kawin, maka moko sudah menjadi penentu status sosial dan martabat suku, baik di pihak laki-laki maupun perempuan.


Namun, fungsi moko tidak sebatas itu. Moko menjadi benda sakral yang memiliki kekuatan mistis religius ketika dihadirkan dalam sebuah upacara adat. Moko bisa dijadikan alat musik pukul semacam fungsi gong dalam ritual adat yang sakral. Bebunyian yang dihasilkan media moko akan menghadirkan rasa bersatu antara orang-orang Alor dan para leluhurnya. Sebuah pesona wisata budaya yang sayang jika dilewatkan ketika menginjakkan kaki di Nusa Kenari ini.

sumber : http://spiritentete.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar